Aku sama sekali tak pernah menyadari bahwa segala pertanyaan maupun pernyataan yang aku luncurkan setelah menerima opini dari orang lain mengenai tindakanku hanyalah lapisan alasan-alasan yang kuciptakan untuk membenarkan apa-apa yang telah kuperbuat.
Jika perbincangan malam ini tidak terjadi tadi, mungkin hingga esok, lusa, minggu depan dst aku akan terus bersikap seperti itu. Selalu mencari-cari alasan demi pembenaran sikap diri.
Ya, sebelumnya aku selalu merasa ucapan yang aku lontarkan itu adalah benar. Karena memang menurutku itulah fakta yang ada. Fakta yang mendukung kondisiku. Namun disisi lain tak sedikitpun terlintas olehku bahwa hal tersebut yang menguatkan ego-ku, sehingga cacat didepan mataku tak setitikpun terlihat olehku.
Aku merasa buruk, namun tak sepenuhnya merasa seperti itu. Kita semua tahu bahwa tak ada manusia yang sempurna. Manusia dapat terus berproses selama ruh masih dibadan. Aku sadar aku telah menjadi individu yang egois namun aku masih memiliki celah dihati. Sedikit celah itulah yang dapat kugunakan untuk menerima ilmu dan pesan dari orang lain, sehingga dapat kugunakan untuk perbaikan diri.
Terima kasih telah membukakan mataku dengan lebarnya, bahwa selama ini aku memiliki kecenderungan untuk mencari-cari alasan, yang membuat perkembangan emosiku tumbuh dengan lamban.
Terima kasih karena secara tidak langsung kamu telah membantuku berproses menjadi individu yang lebih baik lagi.
Terima kasih telah memberitahuku dengan cara yang sangat aku senangi. Aku mungkin tak menunjukkan rona gembira di wajah waktu itu, namun hatiku menerima opinimu dengan hati lapang.
Terima kasih ilmunya malam ini, untuk kamu yang aku kagumi dan sayangi dari hati.
Lastly, kuharap aku akan selalu menjadi individu yang open-minded, sehingga ke-egoisanku tak akan menjadi boomerang bagi diri sendiri.
~Agiesta
Jika perbincangan malam ini tidak terjadi tadi, mungkin hingga esok, lusa, minggu depan dst aku akan terus bersikap seperti itu. Selalu mencari-cari alasan demi pembenaran sikap diri.
Ya, sebelumnya aku selalu merasa ucapan yang aku lontarkan itu adalah benar. Karena memang menurutku itulah fakta yang ada. Fakta yang mendukung kondisiku. Namun disisi lain tak sedikitpun terlintas olehku bahwa hal tersebut yang menguatkan ego-ku, sehingga cacat didepan mataku tak setitikpun terlihat olehku.
Aku merasa buruk, namun tak sepenuhnya merasa seperti itu. Kita semua tahu bahwa tak ada manusia yang sempurna. Manusia dapat terus berproses selama ruh masih dibadan. Aku sadar aku telah menjadi individu yang egois namun aku masih memiliki celah dihati. Sedikit celah itulah yang dapat kugunakan untuk menerima ilmu dan pesan dari orang lain, sehingga dapat kugunakan untuk perbaikan diri.
Terima kasih telah membukakan mataku dengan lebarnya, bahwa selama ini aku memiliki kecenderungan untuk mencari-cari alasan, yang membuat perkembangan emosiku tumbuh dengan lamban.
Terima kasih karena secara tidak langsung kamu telah membantuku berproses menjadi individu yang lebih baik lagi.
Terima kasih telah memberitahuku dengan cara yang sangat aku senangi. Aku mungkin tak menunjukkan rona gembira di wajah waktu itu, namun hatiku menerima opinimu dengan hati lapang.
Terima kasih ilmunya malam ini, untuk kamu yang aku kagumi dan sayangi dari hati.
Lastly, kuharap aku akan selalu menjadi individu yang open-minded, sehingga ke-egoisanku tak akan menjadi boomerang bagi diri sendiri.
~Agiesta